Epistemologi Islam
A.
Definisi
Epistemologi Islam
Epistemologi
adalah bicara ilmu – sebuah istilah yang berasal dari dua kata dalam Bahasa
Yunani kuno, ‘episteme’ yang artinya ilmu, dan ‘logos’ yang berarti
pembicaraan. Epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang mengkaji tentang
usaha dan upaya untuk mencari tahu suatu kebenaran secara hakiki. Epistemologi
akan terus mengkaji tentang suatu fakta sampai pada batas yang tidak dapat
dikaji lagi. Arti epistemologi adalah cabang filsafat yang berurusan mengenai
ruang lingkup serta hakikat pengetahuan. (Mujamil Qomar : 2006).
B. Urgensi Epistemologi Islam
Epistemologi
berbicara tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana manusia bisa meraih ilmu.
Sementara itu, knowledge atau ilmu pengetahuan merupakan suatu yang
sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Islam, khususnya, agama yang sangat
menghargai ilmu pengetahuan. Al-Qur’an adalah kitab yang begitu besar
perhatiannya terhadap aktivitas pemikiran dan keilmuan. Ini, misalnya, tergambar
dari penyebutan kata ‘al-‘ilm’ dan derivasinya yang mencapai 823 kali.
Karena
begitu pentingnya kedudukan ilmu maka “rusaknya ilmu dan ulama” juga menjadi
factor penyebab terpenting terjadinya kerusakan suatu masyarakat. Rusaknya
orang-orang yang berilmu terjadi ketika mereka terjebak dalam kekeliruan atau
penyakit “hubbud-dunya”. Imam al-Ghazali menyimpulan “Sesungguhnya
kerusakan rakyat terjadi karena kerusakan penguasa dan kerusakan penguasa
Karena kerusakan ulama. Andaikan Hakim dan ulama tidak rusak, maka akan kecil
lah kerusakan penguasa disebabkan ketakutan mereka pada hakim dan ulama”.
1.
Apa
itu Epistemologi ?
Secara
Umum, epistemologi berbicara mengenai kajian Pengetahuan (Knowledge)
serta peran dari pengetahuan. Terdapat dua pandangan yang besar mengenai
pengetahuan yakni “Pengetahuan tentang bagaimana” dan Akuantisasi
Pengetahuan. Sebagai contoh yang sangat sederhana Pengetahuan tentang bagaimana
cara mendapatkan sesuatu. Di Dalam matematika telah diketahui secara luas bahwa
2 + 2 = 4, hal ini juga akan berlaku pada penambahan dua buah apel ditambah
dengan dua buah apel akan menghasilkan buah apel. Sedangkan pada kenyataan
sebuah rujukan semisal waktu dan alamat bukanlah hal yang dapat dijumlahkan
begitu saja, dalam hal ini dibutuhkan pengkajian lebih bijak mengenai angka,
bahwa tidak semua angka dapat dijumlahkan begitu saja.
Pengetahuan
dapat diartikan sebagai informasi yang disadari atau telah diketahui secara
sadar oleh seseorang. Garis besar dari pengetahuan dapat berupa deskripsi,
konsep, hipotesis atau dugaan, sebuah prosedur yang digunakan untuk mencari tau
keberlakuan suatu dugaan atau mencari faktor yang menjadi penyebab terjadinya
sesuatu.
Pengetahuan
juga dapat diartikan sebagai pemahaman mengenai gejala yang diperolehi oleh
seorang manusia sebagai buah dari akal pikiran manusia. Pengetahuan digunakan
oleh manusia berdasarkan kapasitas berfikir dari orang melakukan berpikir.
Sumber dari pengetahuan dapat berupa cita, rasa dan karsa mengenai sebuah
objek. Sebagai contoh sederhana seseorang akan mengetahui mengenai enak atau
tidaknya suatu menu makanan dengan mencicipi masakan. Pengetahuan akan semakin
luas jika si pencicip menjoba menduga rasa yang ada pada masakan yang dicicipi
dan mencoba membuat hal serupa berdasarkan dugaan yang telah dibangun pada saat
mencoba. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan merupakan sebuah
proses mengkombinasikan informasi yang didapatkan dan sebuah potensi dalam
menindaklanjuti informasi tersebut.
Namun,
jika demikian halnya, mengapa kita sering mendengar kebenaran sejati hanya
milik tuhan semata. Mengapa banyak orang yang mengingkari kebenaran? Secara
umum masing-masing sikap khas terhadap kebenaran dibedakan menjadi tiga jenis,
yaitu (i) skeptisisme, (ii) relativisme, (iii) agnostisisme.
1.
Skeptisisme
Berasal
dari Bahasa Yunani kuno skepsis yang artinya pandangan akal, nalar, spekulasi),
adalah sikap meragukan kebenaran suatu pernyataan secara mendasar dan
menyeluruh. Skeptisisme ini tidak sama dengan sikap mencari tahu atau bertanya
untuk meyakinkan atau menentramkan hati.
2.
Relativisme
Berbeda
dengan penganut skeptisisme yang nefasirkan ilmu sama sekali, seorang relativis
mengakui bahwa kebenaran bisa diketahui. Namun, seorang relativis bersikap
ekstrim apabila mereka mengatakan bahwa setiap orang memeiliki kebenaran
sendiri. Dalam pandangan relativis, tidak ada pandangan yang salah Karena semua
pendapat -agama, aliran, sekte, madzhab- itu sama benarnya, dan setiap orang,
kelompok golongan sama-sama benar, tergantung dari sudut pandang, persepsi dan
‘framework’ masing-masing.
3.
Agnostisisme
Seorang
agnostik akan meragukan tidak akan hanya kebenaran posisinya sendiri dengan
berkata “I don’t know”, akan tetapi juga mengklaim bahwa kebenaran itu
hanya dapat dicari dan dihampiri, namun mustahil ditemukan. Seorang agnostik
tidak mau membenarkan atau menafikkan kewujudan Tuhan. Oleh Karena itu secara
tidak langsung, seorang agnostik menolak ilmu, mengingkari kemungkinan manusia
mengetahui ada atau tidak sang pencipta. agnotisisme adalah sebuah sikap intelektual
yang intinya mengatakan bahwa tk seorang pun dapat memastikan secara objektif
kebenaran suatu pernyataan kecuali ia bisa menunjukka sebuah bukti secara logis
memebenarkan kebenaran tersebut.
2. Apa masalah (urgensi) Epistemologi Barat ?
Epistemologi
menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad
yang lalu dan berkembang di dunia Barat. Sementara di dunia Islam kajian
tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa
pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus
seperti, Mutahhari dengan bukunya Syinakht, Muhammad Baqir Shadr dengan
Falsafatuna-nya, Jawad Amuli dengan Nadzariyyah al Ma'rifah-nya dan Ja'far
Subhani dengan Nadzariyyah al Ma'rifah-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang
epistemologi dibahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka–
Barat– sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi
dan kondisi yang mereka hadapi.
Dunia
Barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal
yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Begitu juga
corak berpikirnya yang pluralis membawa kepada kekayaan ilmu pengetahuan.
Karena dalam pluralisme global mensyaratkan pengetahuan dan pengertian di
kalangan manusia yang beraneka ragam.8 Mereka telah bebas dari trauma
intelektual.
Renaissance
yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang
dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja
atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang
memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka
mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka
dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak
sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat
muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian
darinya telah lenyap. Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant,
Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan
Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya.
Sementara
itu, dalam konteks keilmuan Islam, kerangka epistemologi Islam perlu dijadikan
sebagai alternatif terutama bagi filsafat, pemikiran dan ilmuwan muslim untuk
menyelamatkan mereka dari keterjebakan ke dalam arus besar di bawah kendali
epistemologi Barat. Amrullah Achmad menyatakan bahwa tugas cendekiawan
muslim yang mendesak
dan dan harus
segera dipenuhi adalah mengembangkan 8 Mohammad Fathi Oesman,
Islam, Pluralise dan Toleransi Agama (Washington DC: Center for
Muslim-Christian Understanding Georgetown University, 1996), hal.100.
epistemologi Islam. Epistemologi ini merupakan inti setiap pandangan dunia
mana pun juga, yang terbukti mampu mengantarkan zaman klasik Islam menuju
kepada kemampuan membangun ilmu dan kebudayaan yang tidak dikotomik. Misalnya
al- Ghazali yang telah memberikan fondasi yang kuat bagi tegaknya epistemologi
Islam pada zamannya dan bersifat sangat aplikatif, selain al-Ghazali adalah
al-Biruni, al- khawarizmi dan lain-lain.
Menengok
kejayaan Islam masa lalu tersebut, maka perlu diketengahkan kembali
perkembangan epistemologi zaman kalsik Islam yang tidak dikotomik. Namun satu
hal yang perlu dibenahi bahwa tradisi pemikiran klasik Islam-ortodok tidak
mengenal tradisi kritik epistemologis dalam artian yang sesungguhnya. Tradisi
kritik ini penting, sebab pada dasarnya epistemologi adalah cara untuk
mendapatkan yang benar, nilai kebenaran akan lebih baik dan lebih tepat jika
dilandasi dengan upaya pemahaman kritis. Dalam penerapannya epistemologi Islam
memiliki dua jalur yang menghubungkan dengan pengetahuan, yakni pertama, jalur
luar (lahiriyyah) dengan tetap memanfaatkan realitas atau data-data empirik
sebagai pijakan dalam menarik kesimpulan mengenai suatu pengetahuan. Jalur
kedua, jalur ke dalam (batiniyyah) yakni mencoba “menterjemahkan” realitas atau
data-data non empirik untuk memperkaya dan melengkapi capaian ilmu pengetahuan.menurut
Ziauddin Sardar menyebutkan ada sembilan ciri dasar epistemologi Islam yang
tidak dimiliki Barat, yaitu; Pertama, yang didasarkan atas sesuatu kerangka
pedoman mutlak. Kedua, dalam kerangka pedoman ini, epistemologi Islam bersifat
aktif dan bukan pasif. Ketiga, dia memandang objektivitas sebagai masalah umum
dan bukan masalah pribadi. Keempat, sebagai besar bersifat deduktif. Kelima,
dia memadukan pengetahuan dengan nilai-nilai Islam. Keenam, dia memandang
pengetahuan sebagai yang bersifat inklusif dan bukan eksklusif, yaitu
menganggap pengalaman manusia yang
subjektif sama sahnya dengan evaluasi yang objektif. Ketujuh, dia berusaha
menyusun pengalaman subjektif dan mendorong pencarian akan pengalaman-
pengalaman ini, yang dari sini umat muslim memperoleh komitmen-komtmen nilai
dasar mereka. Kedelapan, dia memadukan konsep-konsep dari tingkat kesadaran,
atau tingkat pengalaman subjektif, sedemikian rupa sehingga konsep-konsep dan
kiasan- kiasan yang sesuai dengan satu tingkat tidak harus sesuai dengan
tingkat lainnya, (hal ini sama dengan perluasan dari jangkauan proses
“kesadaran” yang dikenal dan termasuk dalam bidang imajinasi kreatif dan
pengalaman mistis serta spiritual). Kesembilan, dia tidak bertentangan dengan
pandangan holistik, menyatu dan manusiawi dari pemahaman dan pengalaman
manusia. Dengan begitu ia sesuai dengan pandangan yang lebih menyatu dari
perkembangan pribadi dan pertumbuhan intelektual.
Dari
ciri-ciri tersebut dapat dijelaskan bahwa perbedaan yang mencolok antara
epistemologi Barat dengan epistemologi Islam adalah bahwa epistemologi Islam
memiliki sandaran teologis berupa kerangka pedoman mutlak. Dengan demikian
epistemologi Islam sebenarnya telah menekankan totalitas pengalamaan dan
kenyataan serta menganjurkan banyak cara untuk mempelajari alam, sehingga ilmu
bisa diperoleh dari wahyu maupun akal, dari observasi maupun intuisi, dari
tradisi maupun spekulasi teoritis. Maka epistemologi Islam menekankan pencarian
semua bentuk ilmu pengetahuan dalam kerangka nilai-nilai abadi yang merupakan
landasan utama peradaban muslim. Dengan pengertian lain, epistemologi Islam
merupakan alat yang fleksibel dalam memperoleh banyak pengetahuan, baik
pengetahuan yang berdasarkan data-data empirik, pengetahuan yang diperoleh
melalui pendekatan spekulatif terhadap persoalan-persoalan metafisika,
pengetahuan melalui intuisi, maupun pengetahuan yang diperoleh dari informasi
wahyu (al-Qur’an dan Hadits).
Islam pada dasarnya tidak pernah
mempertentangkan antara satu macam pengetahuan dengan pengetahuan lainnya.
Begitu juga Islam tidak memperhadapkan satu macam pendekatan keilmuan berikut
aneka ragam pengetahuan yang dihasilkannya. Penerimaan Islam terhadap berbagai
macam pendekatan keilmuan dan hasil-hasilnya sekaligus, karena Islam memandang
bahwa semua pengetahuan berasal dari Allah.
Menurut
Al- Jabiri, epistemologi Islam memiliki tiga kecenderungan, yaitu bayāni,
irfāni, dan burhāni. Epistemologi bayāni adalah epistemologi yang beranggapan
bahwa sumber ilmu adalah teks (nash) atau penalaran dari teks. Epistemologi
irfāni adalah epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan
adalah ilham. Epistemologi ini memiliki mertode yang khas dalam mendapatkan
pengetahuan, yakni metode kasyf. Metode ini sangat unik karena tidak dapat
dirasionalkan selamanya, diverifikasi atau diperdebatkan. Epistemologi ini
sangat sulit dijelaskan, karena seseorang harus mengalami sendiri kalau ingin
mengetahui. Epistemologi ini dianut oleh para sufi. Epistemologi burhāni adalah
epistemologi yang berpandangan bahwa sumber pengetahuan adalah akal. Ibn
Khaldun menyebut epistemologi ini dengan knowledge by intellect (al-ulum al-
aqliyyah). Epistemologi ini disebut juga epistemologi falsafah, karena merujuk
pada tradisi intelektual Yunani. Tokoh pendiri epistemologi ini adalah
Aristoteles.
3. Apa Hubungan Epistemologi Islam dengan lahirnya ilmu
islam ?

Ibn
Manzur dalam Lisan al-`Arab memberikan empat penghuraian terhadap akar
kata al-`ilm. Pertamanya, `ilm adalah merujuk kepada sifat- sifat
Allah S.W.T. Yang Maha Mengetahui. Keduanya, al-`ilm berlawanan dengan
sifat al-jahl (tidak tahu atau dungu). Ketiganya, `ilm atau
mengetahui sesuatu bermakna
mengenalinya atau `arafa. Keempatnya `ilm dengan
pengertian al-`alam berasaskan akar kata yang sama tetapi membawa makna
tanda atau alamat.
Manakala
Hajj Khalifah dalam ensiklopedianya Kashf al-Zunun, merumuskan lima
belas takrif ilmu yang telah dibahaskan oleh para ahli kalam, ahli fiqh dan
ahli falsafah. Beliau menggalurkan istilah ilmu sebagai pegangan terhadap
sesuatu, pengenalan, pengetahuan, pencapaian sesuatu, pengesahan berasaskan
keyakinan, penjelasan, kepercayaan yang kukuh, keyakinan yang sempurna,
penghasilan akal, keupayaan membezakan sesuatu dari yang lain, suatu ingatan
dan terhasilnya makna sesuatu ke dalam jiwa.
Konsep
ilmu menurut perspektif Barat telah dirumuskan secara komprehensif dan
menyeluruh oleh The Encyclopedia of Philosophy yang menyatakan bahawa definisi yang diterima
umum tentang ilmu atau knowledge adalah “kepercayaan yang benar dan hakiki”
(Knowledge is justified true belief).
Sementara
itu golongan ilmuwan Islam juga mempunyai beberapa pandangan tersendiri
terhadap pengertian ilmu umpamanya al- Ghazali yang turut membahaskan konsep
ilmu dari pelbagai perspektif. Keseluruhan dari konsep ilmu menurut pandangan
beliau dapat diselidiki melalui puluhan karya-karyanya seperti Ihya’ `Ulum
al-Din, al-Munqidh Min al-Dalal, Mizan al-`Amal, Mi`yar al-Ilm, al-Risālah
al-Ladunniyah dan lain-lain lagi. Namun begitu, definisi yang dikemukakan
dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, al-Munqidh Min al-Dalal dan Mizan al-`Amal
dilihat lebih menyeluruh dan padat yaitu :
i.
Ilmu ialah
satu kelebihan pada
dirinya secara mutlak tanpa dihubungkan kepada yang lain dan
ilmu merupakan sifat kesempurnaan bagi Allah S.W.T. dan kemuliaan bagi malaikat
dan rasul-rasul.
ii.
Ilmu adalah hakikat
semua perkara di mana ilmu adalah pengetahuan yang tidak dapat diragui yang
dikenali sebagai `ilm al-yaqin.
iii.
Ilmu
ialahtersingkapnya sesuatu perkara dengan sejelas-jelasnya sehingga tiada lagi
ruang untuk ragu-ragu; tidak mungkin salah atau keliru; aman dari bahaya
kesilapan dan disertai dengan keyakinan yang sebenar-benarnya.
Franz
Rosental yang mengumpulkan pelbagai definisi ilmu, telah menggolongkan konsep
ilmu berdasarkan kegunaan bagi kepentingan manusia seperti ilmu sebagai ilmu
itu sendiri (hakikat Islam), ilmu sebagai pendidikan (aspek masyarakat), ilmu
sebagai falsafah (aspek pemikiran) dan ilmu ialah cahaya (aspek sufisme). Dari
sudut sufisme, Rosental menyatakan penggunaan istilah ‘cahaya’ yang dirujuk
kepada ilmu merupakan metafora yang sering digunakan oleh al-Qur’an bagi
menunjukkan bahawa cahaya itu merupakan petunjuk kepada
jalan yang benar dan cahaya Allah
akan diberikan kepada sesiapa yang dikehendakinya. Al-Qur’an juga, adakalanya
mengiringi istilah cahaya ini dengan kegelapan sebagai lawan kepada cahaya yang
dikaitkan dengan kegelapan, kesesatan, kejahilan, batil dan seumpamanya. Oleh
itu, penggunaan istilah cahaya yang dirujuk kepada ilmu merupakan gambaran
bahawa ilmu itu adalah suatu yang bersih, suci, murni dan mulia.
Sebagai
kesimpulannya, kepelbagaian konsep ilmu yang muncul menunjukkan bahawa ruang
lingkup perbahasannya adalah luas
dan tidak terhad kepada sesuatu
skop sahaja. Definisi yang pelbagai ini menggambarkan bahawa konsep ilmu itu
adalah sesuatu yang tidak boleh dibatasi kepada sesuatu maksud tertentu.
DAFTAR
PUSTAKA
Dahlan,
A (2015, Oktober 27). Hakikat dan Pengertian Epistemologi dalam Kajian Filsafat
Ilmu. Retrieved from ahmaddahlan.net: http://www.ahmaddahlan.net/
2015/10/hakikat-dan-pengertian-epistemologi-dan-Epistimologi-filsafat-ilmu.html
Husaini, A, & dkk.
(2013). Filsafat Ilmu Prespektif Barat dan Islam. Depok: GEMA INSANI
Husin,
Bisri. (2009) “Beberapa Aspek Epistemologi: Konsep, Tabiat dan Sumber Ilmu
dalam Tradisi Islam”. Jurnal Usuluddin, 30, September 2009.
Arif,
Syamsuddin. (2016). “Ilmu, Kebenaran, dan Keraguan : Refleksi
Filosofis-Historis”. Orasi Ilmiah, 1, Maret 2016.
Toni,
Arif. (2017). “Epistemologi Barat dan Islam”. Jurnal Kopertais IV, 3,
September 2017.
Hampir 50% penulisan dalam artikel ini dicopy paste dalam artikel saya dalam jurnal Usuluddin bilangan 30 tanpa sebarang editing...
BalasHapusternyata penulis ini hanya bijak palagiat sahaja...
palagiat pada tajuk Apa Hubungan Epistemologi Islam dengan lahirnya ilmu islam ?